Kejawen.id – Indonesia memang dikenal memiliki beragam kebudayaan dan perbedaan, salah satunya sistem agama dan kepercayaan. Setidaknya yang masih diperbincangkan hingga saat ini adalah perbedaan antara Sunda Wiwitan dan Kejawen.
Indonesia juga menjamin kebebasan beragama, di mana setiap penduduknya berhak memilih serta menjalankan keyakinan individu masing-masing. Tentu, berbagi aliran kepercayaan tersebut sudah ada sejak dahulu kala, salah satunya yaitu Sunda Wiwitan dan Kejawen.
Sebagaimana diketahui bahwa Sunda Wiwitan dan Kejawen sudah diturunkan secara turun temurun kepada anak cucu yang hidup di wilayahnya. Sehingga kepercayaan atau kebiasaan warisan nenek moyang tersebut lantas berkembang dan menjadi kebiasaan yang selalu dilakukan di berbagai keadaan.
Oleh sebab itu, bagi kalian di luar sana belum mengetahui apa saja perbedaan Sunda Wiwitan dan Kejawen. Maka, ada baiknya simak pembahasan secara lengkapnya di bawah ini karena kami akan memberikan ulasan mulai dari perbedaan, cara ibadah, ajaran hingga kitab suci dari kedua kepercayaan tersebut.
Daftar Isi
Perbedaan Sunda Wiwitan dan Kejawen
Sebagaimana diketahui, sejak awal Sunda Wiwitan dan Kejawen adalah ajaran Tauhid (ajaran Ibrahim) Milata Abina Ibrahimah Hanifah. Di mana suku Jawa adalah salah satu suku terbesar di Indonesia, dan sejak dahulu masyarakat menganut monoteisme seperti keyakinan adanya Sang Hyang Widhi atau Sangkan Dumadi.
Selain di Jawa, pemahaman monoteisme juga terdapat di masyarakat Sunda kuno. Hal tersebut bisa dijumpai pada keyakinan Sunda Wiwitan. Para penganutnya meyakini adanya Allah Yang Maha Kuasa yang diucapkan dengan bahasa Nu Ngersakeun atau biasa disebut Sang Hyang Kersa. Nah, dalam sebuah kepercayaan antara Sunda Wiwitan dan Kejawen ternyata terdapat perbedaan. Lalu apa perbedaan mengenai dua kepercayaan agama tersebut? Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
1. Sunda Wiwitan
Perbedaan pertama Sunda Wiwitan adalah sistem nilai ajaran kebudayaan yang hidup di tanah Sunda di Jawa Barat sejak Sunda dihuni oleh manusia. Bahkan sebelum agama Budha dan Hindu masuk ke Indonesia, ajaran Sunda Wiwitan telah ada serta berkembang dalam masyarakat.
Selain itu, masyarakat Sunda juga memahami bahwa alam semesta hanyalah sebuah titipan dari maha kuasa. Jadi, pada dasarnya setiap manusia tidak boleh terlalu eksploitatif serta kita hidup sesama manusia harus saling memberi, cinta ada sesama, tidak boleh mempunyai sifat serakah, bersama-sama merawat alam, serta merawat lingkungan.
Saat ini, masyarakat Sunda Wiwitan juga bisa ditemukan di kawasan Kanekes Banten, Kampung Naga Cirebon, dan Cigugur Kuningan. Seperti diketahui, Sunda Wiwitan juga memiliki satu Tuhan atau kerap disebut dengan Sang Hyang Kersa.
Dalam kepercayaan tersebut, Tuhan tetaplah satu seperti ajaran umat Islam pada umumnya. Namun dalam perkembangannya, ada beberapa tradisi Sunda Wiwitan juga terpengaruh oleh unsur Islam dan Hindu.
2. Kejawen
Sebenarnya Sunda Wiwitan dan Kejawen sedikit memiliki perbedaan. Di mana Kejawen adalah kepercayaan sebuah etnis di Pulau Jawa, serta filsafat Kejawen didasari pada ajaran agama dianut oleh filsuf di Jawa. Walaupun Kejawen yaitu kepercayaan, sebenarnya Kejawen bukanlah sebuah agama.
Seperti diketahui, perbedaan ini terletak pada naskah-naskah kuno Kejawen, Kejawen sendiri lebih berupa seni, tradisi, budaya, sikap, ritual, hingga filosofi orang-orang Jawa. Adapun dari beberapa unsur tersebut tidak bisa terlepas dari spiritualitas suku Jawa. Selain itu, budaya Kejawen juga muncul sebagai bentuk proses perpaduan dari beberapa paham atau aliran agama pendatang dan kepercayaan asli masyarakat.
Diketahui sebelum Kristen, Budha, Hindu, dan Islam masuk ke Pulau Jawa bahwa kepercayaan asli dianut masyarakat merupakan sebuah animisme serta dinamisme, atau perdukunan. Masyarakat percaya dengan Kejawen itu relatif taat dengan agamanya. Di mana masyarakat Jawa akan tetap melaksanakan perintah agama serta menjauhi larangan dari agamanya.
Sejak dahulu, masyarakat Jawa memang dikenal mengakui keesaan Tuhan. Hal tersebutlah menjadi inti dari ajaran Kejawen sendiri, yakni lebih dikenal dengan Sangkan Paraning Dumadhi, atau mempunyai arti dari mana datang serta kembalinya hamba Tuhan.
Selain itu, aliran filsafat Kejawen berkembang seiring dengan agama yang dianut oleh pengikutnya. Sehingga hingga kini dikenal sebagai terminologi Islam Kejawen, Budha Kejawen, Hindu Kejawen, hingga Kristen Kejawen. Di mana pengikut masing-masing aliran tersebut nantinya akan tetap melaksanakan adat dan budaya Kejawen yang tidak bertentangan dengan agama dipeluknya.
Cara Ibadah Sunda Wiwitan dan Kejawen
Setelah mengetahui perbedaan antara Sunda Wiwitan dan Kejawen, ternyata dalam cara beribadah pun berbeda dengan kepercayaan lainnya. Pertama, dalam suatu kepercayaan Sunda Wiwitan, para penganut biasanya akan melaksanakan ibadah degan sebutan olah rasa di dua waktu tertentu.
Pertama dilakukan pada saat pukul 05.00 WIB, pagi dan waktu kedua saat petang yaitu pada pukul 18.00 WIB. Selain itu, dalam praktik sehari-hari tersebut kegiatan olah rasa biasa dilakukan sebagai cara untuk mendekatkan diri antara manusia dengan sang pencipta.
Sedikit berbeda dengan Sunda Wiwitan, ibadah Kejawen sendiri biasanya adalah sebagai bentuk penghormatan serta rasa syukur kepada Tuhan (Sang Hyang Widhi). Lewat cara ibadah ini, biasanya individu mengakui keberadaan kekuatan lebih tinggi dan mencari keberkahan serta petunjuk dalam kehidupan.
Dalam kepercayaan Kejawen, ibadah merupakan praktik spiritual yang melibatkan penghormatan, refleksi, meditasi, serta penghubung dengan kekuatan lebih tinggi. Ibadah dalam Kejawen memiliki tujuan untuk mencapai kedamaian bati, keseimbangan dengan alam semesta hingga mendapatkan keberkahan kehidupan sehari-hari.
Ajaran Sunda Wiwitan dan Kejawen
Seperti sudah disinggung di awal, ajaran Sunda Wiwitan itu sangat dekat dengan konsep saling menghormati antara manusia dengan alam, salah satunya tradisi Seren Taunnya. Kebanyakan masyarakat Cigugur melakukan hal tersebut selalu mengungkapkan rasa syukurnya terhadap melimpahnya hasil pertanian.
Melalui ajaran atau tradisi tersebut, Sunda Kejawen terus berusaha memberi pesan supaya manusia dapat menggunakan air secara bijak. Selain itu, terdapat Sunda Wiwitan Madrais juga menerapkan prinsip menghormati alam melalui kegiatan puasa dan rayagungnya.
Sedangkan untuk ajaran Kejawen pada dasarnya merupakan ajaran filsafat untuk mendorong manusia tetap taat kepada Tuhannya. Jadi secara umum ajaran Kejawen dikenal dengan Sangkan Paraning Dumadhi. Di mana artinya yaitu ‘dari mana datang dan kembalinya Tuhan’.
Ajaran tersebut menjelaskan bahwa masyarakat Jawa sejak dahulu sudah mengakui keesaan Tuhan. Selanjutnya, aliran filsafat Kejawen biasanya berkembang seiring dengan agama yang dianut oleh orang tersebut.
Kitab Sunda Wiwitan dan Kejawen
Perbedaan Sunda Wiwitan dan Kejawen selanjutnya terletak pada kitab. Pertama, Sunda Wiwitan tentu memiliki kitab suci untuk mendidik moral, bukan hanya sebagai kalangan atas saja (Brahmana/Kesatria) tetapi untuk kalangan orang biasa. Sebagaimana diketahui, terdapat beberapa naskah Sunda kuno dianggap sebagai “kitab” Sunda Wiwitan.
Adapun kitab Sunda Wiwitan tersebut di antaranya seperti Siksa Kandang Karesian, Sanghyang Sasana Mahaguru, Sanghyang Raga Dewata, Sanghyang Maha Pitutur, dan Sanghyang Bayu. Nah, kitab-kitab tersebut memiliki makna dan artinya semua, mulai dari tentang kehidupan, kepercayaan, alam, cerita sejarah dan keagamaan.
Sedangkan Kejawen sendiri itu tidak memiliki kitab suci atau dogma yang baku, melainkan bersumber dari ajaran-ajaran para leluhur Jawa. Ajaran tersebut berlandaskan pada tiga ajaran utama yaitu Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti, dan Cinta Kasih.
Kesimpulan
Itulah pembahasan dari Kejawen.id mengenai perbedaan antara Sunda Wiwitan dan Kejawen. Di mana salah satu kepercayaan tersebut dianut secara turun menurun oleh masyarakat Sunda dan Jawa hingga kini. Layaknya makna terkait, kebiasaan dari dua agama tersebut lantas berkembang menjadi sebuah kepercayaan yang bersinergi dengan ajaran agama.