Sunda Wiwitan Adalah, Cara Ibadah, Tempat, Kitab dan Artinya

Kejawen.id – Sebagaimana diketahui, jika di Jawa Tengah dan Jawa Timur kita telah mengenal dengan istilah Kejawen. Sedangkan di Jawa Barat ternyata juga terdapat sebuah agama warisan leluhur dari nenek moyang bernama Sunda Wiwitan.

Dimana Sunda Wiwitan adalah sebuah kepercayaan yang sudah ada sejak zaman dahulu dan menyebar di wilayah Pasundan. Para sesepuh Sunda juga telah mewariskan kepercayaan ini secara turun temurun hingga membuatnya masih bisa bertahan di beberapa wilayah Jawa Barat dan Banten.

Sementara itu, Indonesia sendiri adalah sebuah negara yang dikenal kaya akan budaya dan adat tradisi yang sudah diturunkan secara turun-temurun kepada anak cucu mereka. Kemudian kepercayaan ini membaur dengan elemen sakral di tengah kehidupan sosial masyarakat, salah satunya adalah kepercayaan Sunda Wiwitan ini.

Hal tersebut sudah menjadi sebuah kepercayaan yang dianut secara turun-temurun oleh masyarakat Sunda. Adapun pada praktiknya para penganut kepercayaan ini menerapkan sistem monoteisme kuno melalui kekuasaan tertinggi. Nah, untuk mengenal lebih lanjut simak ulasan berikut tentang Sunda Wiwitan yang dilansir dari berbagai sumber.

Sunda Wiwitan Adalah

Sunda Wiwitan adalah salah satu ajaran agama menggunakan unsur monoteisme purba yang merasuk dalam budaya dan kepercayaan masyarakat suku Sunda di Nusantara. Dimana ajaran tersebut menganut konsep kepercayaan tertinggi terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa tidak terwujud, atau dikenal sebagai “Sang Hyang Kersa” setara dengan Tuhan di dalam ideologi Pancasila.

Ajaran Sunda Wiwitan sudah tertulis dalam kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian, naskah dari zaman kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Kropak 630. Adapun kitab tersebut berisi ajaran tuntunan moral, keagamaan, aturan, dan pelajaran budi pekerti. Sebagaimana diketahui, konon Sunda Wiwitan sudah ada sebelum datanya ajaran Hindu dan Islam di tanah Sunda.

Selain itu, sistem kepercayaan Sunda menempatkan Sang Hyang Kersa sebagai kekuatan tertinggi yang disebut Batara Tunggal, Batara Jagat, dan Batara Seda Niskala. Konon dewa-dewa dalam konsep Hindu dianggap tunduk kepada Batara Seda Niskala. Untuk struktur alamnya mencakup buana Nyuncung (tempat Sang Hyang Kersa bersemayam), sedangkan Buana Panca Tengah (tempat manusia dan makhluk lainnya), dan Buana Larang (neraka).

Biasanya ajaran ini didasarkan pada dua prinsip filosofis yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Adapun Cara Ciri Manusia adalah mencakup lima unsur dasar kehidupan manusia, seperti cinta kasih, tatanan dalam kekeluargaan, tatanan perilaku, budaya, dan sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya. Selanjutnya untuk prinsip kedua Cara Ciri Bangsa adalah membedakan antar manusia berdasarkan adat, rupa, bahasa, aksara, dan budaya.

Tokoh Sunda Wiwitan

Sebagaimana diketahui, Sunda Wiwitan pertama kali dikenalkan oleh salah satu tokoh bernama Sadewa Alibasa Koesoema Widajayaningrat atau lebih dikenal sebagai Pangeran Madrais. Bahwa beliau adalah anak dari Pangeran Alibasa (Pangeran Gebang kesembilan) dari pernikahannya bersama R. Kastewi kelima dari Tumenggung Jayadipura Susukan.

Seperti kisahnya, Pangeran Madrais adalah sosok tokoh dianggap kontroversial karena berlawanan ajaran dengan Sunan Gunung Jati. Dimana Pangeran Madrais konon adalah keturunan dari salah satu Walisongo tersebut. Selain itu, nama Madrais sendiri didapatkan ketika remaja, dimana pada saat itu teman-temannya di pesantren kesulitan menyebut nama Muhammad Rais sehingga mudah untuk menyebutnya, nama beliau disingkat menjadi Madrais.

Menurut dari History of Cirebon, Pangeran Madrais adalah putra dari Pangeran Keraton Gebang bernama Alibasa Koesoema Widjayaningrat dan seorang bernama Nyi Kastewi. Diceritakan, bahwa beliau sejak lahir tidak pernah bertemu dengan sang ayah yang telah lama pergi dan tidak kembali. Namun, dalam versi lain menyebutkan jika beliau adalah anak terlahir dari hubungan di luar nikah orang tuanya.

Hal tersebut diketahui ketika Keraton Gebang mewajibkan setiap daerah otoritasnya mengirimkan seorang laki-laki sebagai pengabdi di area kerajaannya. Namun, pada saat itu ada salah satu desa bernama Susukan tidak mengirimkan perwakilan laki-lakinya, sehingga membuat masyarakat di sekitar kerajaan murka.

Dengan alasan belum diketahui, kepala desa Susukan mengutus serang perempuan bernama Nyi Kastewi. Hal tersebut dilakukan menjadi bentuk permintaan maaf desa Susukan terhadap Gebang. Dalam versi lainnya juga menyebutnya jika Pangeran Madrais adalah anak dari perkawinan sah antara Pangeran Alibasa dan Nyi Kastewi.

Cara Beribadah Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan adalah salah satu ajaran agama lokal yang masih tersisa hingga sekarang. Dimana ajaran tersebut mendasarkan pada kepercayaan atau ajaran Sunda Kuno atau dikenal dengan Pikukuh Tilu, dalam ajaran tersebut tersusun hubungan Trilogis, yakni hubungan antara Tuhan, manusia dan Alam. Selain itu, melihat konsep ajaran Sunda Wiwitan banyak orang menganggap bahwa ajaran kuno nenek moyang, khususnya Sunda Wiwitan, bangsa Indonesia masih menganut paham animisme tertolak.

Ajaran ini bahkan tidak hanya mempunyai konsep monoteisme namun telah memiliki ajaran lengkap, tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, akan tetapi mencakup hubungan manusia dengan manusia, serta manusia dengan Alam. Nah, hal tersebut juga terkait dengan cara beribadah yang sedikit berbeda.

Para penganut kepercayaan Sunda Wiwitan biasanya akan melaksanakan ibadah dengan sebutan olah rasa di dua waktu tertentu. Pertama, saat waktu subuh pukul 05.00 WIB, pagi dan kedua pada saat pukul 18.00 WIB. Sehingga dalam praktik sehari-hari tersebut kegiatan olah rasa biasanya dilakukan untuk mendekatkan diri antara manusia dengan sang pencipta.

Tempat Ibadah Sunda Wiwitan

Tempat beribadah atau dianggap sakral dalam kepercayaan Sunda Wiwitan adalah Pamanjungan atau biasa disebut Kabuyutan. Pamanjungan adalah tempat punden yang biasanya terdapat di bukit dan bi Pamanjungan tersebut biasanya terdapat menhir, arca, batu cangkruk, batu mangkuk, batu pipih dan liannya.

Pamanjungan banyak ditemukan di Tatar Sunda seperti Balai Pamujan, Genter Bumi, Situs Cangkrurk, Gunung Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali dan lainnya. Di mana pada masanya Pamanjungan paling besar dan mewah adalah Pamanjungan Kihara Hyang terletak di Luyweung Sonngom, atau di Mandala Parakan Jati yang saat ini lokasinya digunakan sebagai kampung budaya Sindang Barang.

Dengan adanya Pamanjungan atau kabuyutan tersebut, di Sunda membuktikan bahwa agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah agama Jati atau Sunda Wiwitan. Hal tersebut adalah salah satu alasan mengapa di tanah Sunda jarang ditemukan candi.

Kitab Sunda Wiwitan

Seperti sudah disinggung di awal, kepercayaan Sunda Wiwitan telah tertulis dalam Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian sebuah naskah dari zaman kerajaan Sunda atau dikenal sebagai Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Kitab Sunda tersebut berisi sejarah, ajaran keagamaan, tuntunan moral, aturan, dan pelajaran budi pekerti. Konon kitab ini sudah ada sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam di tanah Sunda. Untuk lebih lengkapnya kalian bisa download kitab Sunda Wiwitan PDF di bawah ini.

Kesimpulan

Jadi, Sunda Wiwitan adalah bagian penting dari warisan budaya dan agama di tanah Sunda. Meskipun hal ini sering menghadapi tantangan serta kontroversi, namun hal tersebut tetap hidup dan memainkan peran dalam membentuk identitas masyarakat suku Sunda.

Dengan adanya keberagamaan di Nusantara, termasuk Sunda Wiwitan mencerminkan kaya dan kompleksnya sejarah bangsa Indonesia. Ajaran tersebut, dengan kitab suci dan filosofi hidupnya menjadi penanda kuat dari kekayaan spiritual serta kultural suka Sunda.

Tinggalkan komentar